Gerbang Ramadan sudah ada di depan mata, saatnya kembali menjalani
ibadah puasa bagi umat Islam. Menahan nafsu sebulan penuh merupakan
ujian yang harus dijalani. Agar tetap kuat selama Ramadan, mungkin kita
bisa belajar dari pohon jati.
Alkisah, ketika kuda masih jadi
satu-satunya alat transportasi dan banyak orang masih berpergian ke
tempat yang jauh dengan berjalan kaki, demikian pula yang dilakukan dua
pengelana ini. Yang satu janggutnya panjang memutih dan pria satunya
masih muda berbadan tegap. Mereka adalah guru dan murid yang melintasi
hutan-hutan di pulau Jawa.
 |
Ilustrasi pohon jati / lensaindonesia.com |
Berbulan-bulan mereka berjalan melewati hutan dan perkebunan. Sampai
suatu saat kembali berada di sebuah hutan jati. Cuaca sangat panas, rasa
haus dan lapar lebih cepat terasa.
Sang murid melihat
pohon-pohon jati yang meranggas kering. Pohon-pohon jati itu melepaskan
dedaunannya. Daun-daun kecoklatan terbang dan terhempas ringan di atas
tanah. Lantai hutan jati terlihat penuh dengan daun lebar kering
berwarna coklat muda yang berserakan.
Penuh rasa penasaran, sang murid bertanya pada gurunya, ”Guru, dua
bulan lalu, kita pernah melintasi hutan jati di tempat lain. Waktu itu
kita merasakan kesejukan dibawah naungan pepohonan jati dengan daun
hijaunya yang segar dan bunga-bunganya yang sedang mekar. Kali ini,
hampir tak ada daun yang melekat di ranting pepohonan ini. Apa jati ini
harus menggugurkan daunnya setiap tahun guru?”
”Kemarau dengan
panas yang terik dan air dari langit yang tertahan, mengharuskan jati
melewati hari harinya dengan melepas dedaunannya. Begitulah jati menempa
dirinya muridku,” jawab sang guru singkat.
”Bagaimana caranya
jati bisa tumbuh dan berkembang tanpa daun. Bukankah daun sangat penting
untuk menyerap matahari dan menguapkan air bagi tumbuhan. Mereka bisa
mati kalau begitu terus, Guru?” sang murid mendesak gurunya menjelaskan.
Sang
guru kemudian menjawab rasa penasaran muridnya, ”Itulah hikmah yang
Tuhan berikan melalui pohon jati. Meski tanpa daun, pohon jati justru
sedang menempa dirinya menjadi salah satu pohon terbaik di bumi ini. Dia
takkan mati. Ia bahkan sedang ”berpuasa” untuk tidak berkembang secara
kasat mata. Ia sedang menempa dirinya untuk sanggup bertahan dengan
ujian kekurangan air dan panasnya cuaca. Ia melewati ujian itu sambil
mengugurkan masalah yang ada di daun dan memperbaiki kulitas kayu di
batangnya.”
”Menggugurkan masalah? Artinya daun-daun itu kalau
terus ada dan bekerja di musim kemarau bisa mengganggu pertumbuhan pohon
karena boros air. Nantinya bagian pohon lain seperti batang dan akar
bisa terganggu ya, Guru?”
”Benar sekali muridku. Sama halnya
dengan tubuh kita. Pada saatnya kita harus mengistirahatkan anggota
badan kita seperti perut untuk mengurangi kerjanya. Itu sangat
diperlukan agar bagian lain dari diri kita berfungsi lebih optimal.
Misalnya, saat perut beristirahat mengolah makanan, bagian tubuh lain
khususnya pikiran dan jiwa kita bisa lebih optimal bekerja. Bukankah
perut kita adalah salah satu sumber munculnya penyakit," papar sang guru
menjelaskan kearifan alam yang diamatinya.

Sambil melewati daun-daun kering yang jatuh, suara dedaunan itu berderak
memecah kesunyian saat terinjak kasut dua pengelana ini.
Sesaat,
sang guru berhenti dan menepuk punggung muruidnya, "Daun-daun ini bisa
kita andaikan sebagai dosa-dosa kita. Saat kita mau berkorban untuk
menahan diri dan bertahan dari ujian, Tuhan akan memberi kita
karunia-Nya berupa bergugurannya dosa-dosa kita. Pada saat dosa-dosa itu
berlepasan dalam diri kita, maka hidup ini jadi lebih tenang dan
bahagia. Bahagia itulah kualitas tertinggi yang diraih manusia dan
sekaligus karunia dari-Nya. Kamu ingin hidup bahagia kan muridku?"
”Eh iya guru, pasti. Makanya kita harus segera sampai di kampung agar tenang, gak kepanasan begini Guru”
”Kamu masih puasa, kan? Jangan kalah sama pohon Jati yang puasanya lebih panjang dari kita,” canda Sang Guru
”Hahaha...” Guru dan murid tertawa. Mereka mendapatkan kearifan hidup dari gugurnya dedaunan pohon Jati.